Foto oleh: Soulaya Lestary |
Koresponden GIV di Jakarta, Soulaya Lestary, berkesempatan untuk mewawancarai Hidayat Nur 7Wahid (Kandidat #1 dari PKS) hari Kamis, 23 Maret 2014 di Jakarta. Berikut hasil wawancaranya:
Bisa ceritakan sedikit mengenai latar belakang dan motivasi Anda untuk menjadi calon legilsatif?
Pertama secara prinsip posisi saya, tidak “ikut” karena kemauan pribadi, tapi ini penugasan dari partai. Tapi dalam waktu yang bersamaan saya merasa, DPR ini sangat perlu diisi oleh wakil-wakil rakyat yang memang mempunyai kemampuan dan juga track record, yang bisa memperjuangkan kepentingan rakyat. Dan saya melihat bahwa rakyat kita termasuk yang berada di luar negeri, sesungguhnya mempunyai begitu banyak hak yang layak untuk mereka dapatkan untuk kemudian mereka bisa menjadi warga negara yang lebih baik, menikmati kewarganegaraan mereka di Indonesia ini. Baik itu terkait pembuatan undang-undang, kebijakan yang ada, terkait masalah mengawasi kinerja pemerintah yang pro-rakyat, termasuk rakyat yang ada di luar negeri. Juga kaitannya dengan alokasi anggaran untuk keperluan rakyat WNI, termasuk yang ada di luar negeri. Saya melihat bahwa itu semuanya bisa diperjuangkan dan karenanya, ketika partai menugaskan saya, dan saya melihat banyak hal yang bisa dilaksanakan untuk kebaikan dan kemaslahatan dan peningkatan nilai bagi warga kita, ya sudah, amanat ini saya terima. Dan pada pemilu lalu, saya dari dapil [daerah pilih] Jawa Tengah 5, meliputi solo sukoharjo, boyolali, dan klaten, dan sekarang saya dikembalikan ke Jakarta, yang di dalamnya ada dapil luar negeri, yang memang partai berharap bahwa kita bisa meraih kembali raihan pada tahun 2004 yang lalu, dimana kita waktu itu memenangkan pemilu di Jakarta.
Kalau setelah terpilih nanti Bapak akan lebih concern di bidang apa? Apakah ikut saja sesuai seperti yang ditunjuk Partai?
Ya kalau secara prinsip, saya punya pengalaman di Komisi 1 yaitu terkait dengan masalah luar negeri, mitra kerja kita Kemenlu, atau di komisi 8 yang juga di antaranya mengurusi masalah sosial, keagamaan, juga hubungannya dengan masalah perempuan, perlindungan anak, dan juga masalah penanggulanngan bencana, yang mana itu semua juga bisa terkait dengan masalah peran serta dari pihak di luar Indonesia.
Secara prinsip memang keberadaan kita di fraksi di DPR ini itu nanti perpanjangan tagan dari pada partai, isitem kita belum sistem district ya, masih proporsional secara terbuka seperti sekarang ini. Tapi tentu saja kita bisa menyampaikan pada partai kita sebaiknya berada dimana, dan kalau saya boleh berpendapat, untuk memperjuangkan rekan-rekan kita diluar negeri, lebih dekat dengan keberadaan kita di komisi 1. Dan kalau nanti saya di komisi 1, saya Insya Allah akan melanjutkan amanah untuk lebih peduli dan lebih dekat lagi dengan konstituen-konstituen yang berada di luar negeri.
Tapi juga harus disampaikan bahwa kerja kita di komisi-komisi tidak pernah ter kotak-kotak, dengan adanya fraksi itu, kita di konekkan dengan rekan-rekan yang ada di fraksi berbeda-beda. Kalau misal saya di komisi satu harus mengurusi masalah BMI [Buruh Migrant Indonesia], itu kan spesifik ada di komisi 9, saya bisa nanti kerjasama dengan kawan-kawan di komisi 9. Atau kalau misal saya harus mengurus aspirasi warga dari luar negeri misalnya, terkait dengan masalah pendidikan, sekalipun pendidikan bukan tugas kita di komisi 1, kita bisa berkolaborasi dengan rekan-rekan di komisi 10, yang berfokus pada pendidikan. Atau kita mengurus masalah pertanian misalnya, ada rekan-rekan di luar negeri yang memberikan aspirasi bahwa di negeri tersebut ada sistem pertanian yang sangat bagus dengan cara yang sangat sederhana tapi bisa meningkatkan perekonomian rakyat dengan pertanian, nah itu, mereka ingin agar disampaikan, nah kami bisa menampung aspirasi itu dan kami sampaikan ke rekan-rekan kami di komisi 4. Jadi, sekalipun anggota DPR akan dibagi ke dalam komisi-komisi, bukan berarti kami tidak bisa bekerjasama dengan rekan-rekan di komisi lain untuk mendengarkan, menindaklanjuti, memperjuangkan sesuai aspirasi yang ada.
Terkait isu WNI yang di luar negeri yang sudah nyaman disana dan tidak pulang lagi bagaimana menurut Bapak?
Ya memang di era global sekarang , dan sebentar lagi akan diberlakukan ASEAN Community Charter yang memungkinkan orang untuk lintas negara, tentang kemudian dimana dia tinggal dan lain sebagainya, ya itu sebenarnya bagian dari hak asasi manusia juga sih, memilih tinggal di mana. Juga itu terkait dengan beragam hal, terkait pekerjaannya, latar belakang pendidikannya, dan permasalahan pribadi, selama dia berada di negara lain dan tetap membela negara Indonesia, ya itu tentu suatu hal yang tidak bisa ditolak, dan tapi kalau saya boleh berpendapat dan saya telah membuktikan. Saya pernah tinggal lama di luar negeri, saya pernah di Saudi Arabia selama 13 tahun lamanya, sebagai mahasiswa waktu itu, saya tahu bahwa kawan-kawan saya kembali lagi bekerja di sana, tapi sejak dari awal saya yakin bahwa Indonesia tetaplah negara kita yang kita cintai, Indonesia tetap negara dimana kita bisa berkiprah, mungkin memang kalau masalah gaji tidak setinggi kalau berada di luar, tapi saya merasa Indonesia ini masih lebih beragam hal untuk membuat kita lebih nyaman, enak, berprestasi, dan bisa mengabdi kepada negeri yang membesarkan kita, lingkungan kita hidup yang mendukung kita, tanah udara yang selama ini kita injak dan kita hirup.
Pulang dari Saudi waktu itu, saya kemudian jadi abdi di LSM, saya juga aktif di kegiatan ke ormas, kegiatan kemasyarakatan, saya menjadi dosen di IAIN yang ukuran gaji nya tidak seberapa di banding di luar negeri, tapi tetap kita bisa hidup bahagia, kita bangga dengan Indonesia kita, hidup dengan tekun, kerja keras, yang kemudian tidak hanya membuat saya menjadi presiden partai tapi juga Ketua MPR, dan kemudian sekarang di DPR menjadi ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen, dan kemudian menjadi ketua Fraksi, dan semuanya ada di Indonesia.
Keinginan untuk terjun di dunia politik sudah ada sejak kapan?
Sesungguhnya sejak dari awal saya berada di lingkungan yang suka dengan organisasi dan kegiatan sosial. Ayah-Ibu saya keluarga besar saya, semuanya aktif di kegiatan sosial dan ke-ormasan, termasuk kegiatan politik. Kemudian waktu itu saya juga disantrikan di Gontor, Jawa Timur, dan di situ setiap santri diwajibkan untuk aktif dalam kegiatan kepramukaan, organisasi, termasuk juga bela diri, saya di pesantren pun sudah menjadi ketua di beberapa organisasi di Gontor. Jadi keluarga menanamkan untuk cinta organisasi, cinta kepada publik, peduli dengan yang lain, bejuang dengan yang lain, dan Gontor itu menyemaikan itu semua. Selain itu di Madinah, saya pernah menjadi ketua Pelajar Persatuan Saudi Arabia, dan sudah mulai bertemu dengan masalah politik konkrit, real politik, memakai asas tunggal waktu itu, termasuk masalah TKI, TKW, waktu itu sudah mulai bermunculan, termasuk juga saya sudah mulai bertemu dengan rekan-rekan dari beragam ormas kemanusiaan yang berbeda-beda. Dari latar belakangnya Muhammadiah, NU, Masumi, atau yang sama sekali tidak berkaitan dengan itu semua, dan ketika saya di Madinah saya sudah terbiasa bertemu dengan warga dunia.
Mahasiswa di madinah waktu itu terdiri dari 115 negara dari seluruh penjuru dunia, oleh karena itu, kehidupan global, kehidupan dunia internasional seperti itu, saya sudah terbiasa untuk menghidupinya selama 13 tahun, terlebih lagi saat saya menjadi ketua MPR. Semakin lancar saja, menjadi tamunya presiden, tamunya raja, perdana menteri, atau saya yang menerima tamu, menjadi hal yang biasa, dan Alhamdulillah saya bisa berkomunikasi dengan mereka secara langsung dan terlebih lagi saat saya menjadi Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen, komunikasi saya secara terbuka lebih luas lagi melalui jalur parlemen.Karena Indonesia ini adalah negara yang sangat aktif dalam organisasi parlemen dunia. Tingkat ASEAN, Asia Pasific, Asia, dan PBB, kita juga aktif.
Dan saat saya menjadi ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen, saya dapat menghasilkan sebuah sejarah pada Indonesia, baru kali ini, parlemen Indonesia menjadi Presiden untuk parlemen-parlemen negara -negara itu. Itu berhasil kita selenggarakan dengan baik melalui lobi-lobi waktu itu. Karena latar belakang saya timur tengah, saya bisa berkomunikasi langsung dengan mereka menggunakan Bahasa Arab dan itu meyakinkan mereka yang dari negara -negara OKI [Organisasi Kerjasama Islam] yang kemudian Indonesia memenangkan amanah menjadi presiden di Parlemen OKI dan itu baru yang pertama kali.
Menanggapi Kasus Sutinah, menurut Bapak core problem nya itu apa Pak?
Pertama, sejak recruiting nya dulu. Sejauh mana kemudian calon tenaga kerja kita dipenuhi seluruh kewajiban yang harus dia miliki. Misalnya, berapa kali dia harus mengikuti pelatihan di BLK, dia harus memenuhi kualifikasi, minimal mempunyai keahlian untuk bisa bekerja di luar negeri. Sehingga jika itu bisa dia lakukan, bekerjanya dia baik dan tidak menimbulkan konflik dengan majikan. Mungkin juga terkait dengan pemahaman yang diberikan PT perekrut mengenai, anda akan berkerja apa, di mana, dan majikan anda seperti apa. Kalau itu semua tidak diberikan, TKW kita sampai disana terkaget-kaget. Culture shock, dan menghadirkan perilaku-periaku yang menimbulkan salah paham. Mungkin juga faktor bahasa, yang tidak dipersiapkan secara memadai sehingga mereka tidak berkomunikasi dengan baik dan menimbulkan masalah. Mungkin juga factor pemahaman terhadap kultur, mungkin orang Indonesia tidak di pahamkan kultur di Saudi seperti apa, dan orang Saudi tidak dipahamkan kultur Indonesia seperti apa.
Ini banyak terjadi, orang Saudi mengira kalau wanita mengumpulkan rambutnya dan diikat itu rambut, mereka kira itu adalah sihir. Dan karena sihir, itu merupakan kejahatan yang luar biasa, yang menyebabkan penyiksaan, pengaduan pada mahkamah, dan kalau kemudian tiba-tiba keluarganya ada yang meninggal, ini dikira kemudian disihir. Padahal dalam konteks kita di Indonesia itu hal sangat biasa, terutama di daerah di kampung-kampung. Mereka menyisir rambut nya, yang rontok-rontok mereka ikat, mereka kumpulkan dan kemudian di taro di dinding. Itu tidak ada kaitan dengan sihir. Tetapi di
Saudi itu dipahami seolah-olah itu adalah sihir. Nah komunikasi kedua belah pihak ini harus dikritisi.
Bagaimana, seluruh tenaga kerja kita itu terlindungi dengan baik oleh pemerintah Indonesia. Artinya pemerintah kita harus mampu mendapatkan suatu data, dan bahkan data itu harus diberikan pada TKI dan TKW, anda akan kerja di mana. Harus dipastikan bahwa majikan itu layak untuk mempunyai TKW. Kadang – kadang juga majikan penghasilan tidak jelas. Harusnya sejak awal, kontrak itu sangat clear: akan kerja dimana, berapa penghasilan majikan, jenis pekerjaannya apa, dari jam berapa sampai jam berapa, dan data-data itu harus diminta, sehingga kedutaan kita di Saudi Arabia, bisa melakukan supervisi, control,dan pembelaan kalau ada masalah apapun. Dan TKW diberikan alat komunikasi yang memungkinkan dia untuk berkomunikasi minimal dengan keduataan kita, sehingga kalau ada apa-apa bisa diatasi.
Kemudian, setelah masuk di pengadilan, sejak dari awal pemerintah harus memberikan supervision dan pendampingan, karena bahasanya si TKW tidak mengerti, dan latar belakang pendidikannya tidak tinggi sehingga tidak memahami seluruh masalah. Saya tahu mereka melakukan pendampingan, tapi saya tidak tahu sejauh mana efektifitasnya, keseriusannya, kok kemudian kasusnya akan dilaksanakan eksekusi walupun sekarang kasusnya masih Diyat.
Walaupun sekarang banyak yang mengumpulkan donasi untuk Diyat nya. Dan saya mengkritisi Diyat nya itu terlalu tinggi, bagaimana mungkin untuk kasus ini Diyat nya sampai 21 milyar Rupiah. Dan saya khawatir ini nanti akan menjadi semacam trend. Nanti banyak yang Diyat saja sekian puluh milyar, itukan tidak adil dan menimbulkan penzaliman. Sekalipun memang sejak awal harusnya tidak terjadi. Ada yang membunuh dan dibunuh. Tentunya itu semua sejak awal tidak akan terjadi kalau koridor yang saya telah sampaikan tadi terlaksana.
Dan masalah Diyat itu, pemerintah harusnya bisa melobi, dan kalaupun membayar Diyat, dan tidak setinggi itu. Tapi kalau kemudian pemerintahnya tidak mampu, nah ini yang menjadi masalah, dan rakyat Indonesia yang tidak semuanya kaya, terpaksa harus memberikan solidaritasnya mengumpulkan donasi. Di sisi lain, itu memperlihatkan betapa mulianya masyarakat Indonesia dengan sesama, yang harusnya dari awal bisa diselesaikan oleh Pemerintah.
Apa yang sudah Bapak kerjakan selama ini terkait masalah yang ada di luar negeri?
Kemarin ketika saya menjadi ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen, Alhamdulillah saya memimpin delegasi parlemen Indonesia di berbagai pertemuan Parlemen Internasional, baik itu ditingkat AIPA [ASEAN Inter Parliamentary Association], waktu itu kita sidangnya di Vietnam, dan saya usulkan resolusi agar parlemen negara -negara ASEAN membuat suatu regulasi untuk melindungi keberadaan tenaga buruh migran di daerah mereka masing-masing, dan alahmduillah itu lolos sebagai resolusi. Di parlemen negara -negara APPS [ASEAN Parliamentary Pacific Forum], waktu itu sidangnya di Mongolia, saya juga mengusulkan hal yang sama. Dan juga di parlemen negara -negara OKI, namanya PUIC [Parliamentary Union of the OIC], sidangnya waktu itu di Siria, saya mengusulkan hal yang sama agar Parlemen-Parlemen di negara OKI membuat regulasi yang melindungi tenaga kerja asing di negara mereka masing-masing. Tentu target saya, tenaga kerja asing adalah BMI. Itulah suatu upaya yang sudah kita kerjakan dan mendapat persetujuan.
Dan satu lagi, di negara seperti Malaysia, Hongkong, dan lainnya, (di negara yang banyak orang islamnya atau pekerja islam nya) juga di adakan atase agama di negara tersebut, karena secara resiprokal itu Saudi Arabia, di kedutaan mereka disini mempunyai atase agama di Jakarta. Malaysia mempunyai juga mempunyai atase agama disini. Namun Indonesia tidak mempunyai atase agama baik di Saudi Arabia ataupun di Malaysia. Nah usulan itu saya sampaikan, aspirasi itu saya bawa ke DPR dan Menteri Agama, aspirasi itu sangat didukung dan mentri luar negeri pada saat di komisi 1, dan sangat mendukung juga, perlu kajian bersama untuk lebih lanjut. Karena permasalahan-permasalahan agama, mereka para tenaga kerja mau nikah, nah siapa yang ngurusin, siapa juga yang melakukan pelacakan bahwa ini betul-betul perempuan sudah nikah atau bagaimana, nah kalau tidak ada yang megrus secara khusus, tentu nanti akan timbul permasalahan-permasalahan yang lebih fatal.
Tantangan menjangkau pemilih diaspora?
Diaspora kita ini memang sangat mendunia, ada di mana-mana. Dan selain itu, data-data penduduk Indonesia di luar negeri tidak sepenuhnya terekam dengan baik. Tidak sesuai dengan data dari kedubes, dan data dari kedubes tidak semuanya valid. Dan ada juga mereka yang berada di Amerika, Australia, dan lainnya, juga merasa tidak penting untuk alamatnya diketahui, dan bahkan dengan privasi mereka, mereka berfikir tidak perlu lapor kemana-mana. Ini mungkin bagian yang tidak bisa kita jangkau, tapi mungkin mudah-mudahan denga komunikasi melalui internet dan kemajuan teknologi, melalui Twitter, Facebook, dan blog kami, walaupun kami tahu, WNI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga banyak yang tidak bisa akses pada internet. Namun, walau begitu, kedutaan akan mengirimkan surat suara melalui post, walau sekalipun kita tahu bahwa elektabiltasnya sangat rendah. Ya itulah satu upaya supaya kita bisa memaksimalkan akses pada saudara-saudara kita yang ada di luar negeri.
Pesan untuk pemilih diaspora?
Kita bisa berada di luar negeri, tetapi, tetap kita adalah Indonesia, saya tinggal 13 tahun di luar negeri dan saya pulang ke Indonesia. Dan karenanya, sudah sangat sewajarnya rekan-rekan dimanapun anda berada tidak kemudian melupakan Indonesia kita, dan tidak membiarkan Indonesa kita berjalan semaunya sendiri tanpa peran serta kita. Rekan-rekan yang ada diluar negeri tentu mempunyai keunggulan: keunggulan informasi, bisa membadingkan banyak hal.
Alangkah sangat bagusnya bila kemudian anda menggunakan keunggulan itu untuk kemudian menghadirkan wakil-wakil untuk anda yang juga berkeunggulan, karena pada hakikatnya sistem demokrasi yang sudah kita sepakati, tentunya kita memperjuangkan nasib rakyat. Kalau kemudian kita berada di luar negeri dan memubazirkan dan pada golput, jangan disalahkan kalau nanti adalah mereka-mereka yang tidak punya concern sama sekali untuk peningkatakan kualitas kita. Demokrasi selain kaitannya dengan kualitas calon, juga terkait dengan berapa jumlah suara yang dia dapat. Kalau malah suara di dapat dari mereka-mereka yang tidak berkualitas, ya akan menjadi anggota DPR yang kualifikasinya rendah. Ya kalau input nya rendah, output nya akan rendah.
Pesan saya, ini adalah kesempatan yang sangat berharga dan jangan disia-siakan. Jangan golput, sebab kalau golput, sekarang golput sudah punya makna, golongan putih, dan artinya melambangkan warna dari partai-partai, nah putih itu lambang PKS, dan kalau anda golput nanti anda dikira golongan putih PKS. Golput juga ada istilah baru dari teman-teman di Hongkong, Golput: Golongan partai nomor urut tiga, jadi PKS lagi gitu. Jadi sebaiknya udahlah, pergunakan saja hak anda, karena golput itu tidak menyelesaikan masalah.
[http://www.globalindonesianvoices.com]
posted by @Adimin
Post a Comment