Aktivis dan juga anggota tim pemenangan pemilu sebuah partai politik dalam suatu acara evaluasi pelaksanaan Pileg (Pemilu Legislatif) tahun 2014 dengan nada kecewa menceritakan pengalamannya dalam penggalangan masyarakat. “Sudah tiga tahun masyarakat suatu kompleks kami bina dan kami dampingi,” ujarnya.
Berbagai kebutuhan mereka telah difasilitasi. Keluhan mereka didengar dan dicarikan jalan keluarnya, berbagai metode pencerahan juga sudah dibeberkan untuk memberi motivasi.
Mereka sudah seperti keluarga sendiri. “Rasanya tak ada alasan lagi bagi mereka untuk tidak memilih kita dan partai kita saat pelaksanaan pileg,” ujarnya.
Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan. Setelah penghitungan suara, ternyata hasilnya jauh meleset. Masyarakat di kompleks tersebut seperti telah sepakat, justru beramai-ramai beralih memilih partai lain. Konon penyebabnya adalah aksi “serangan fajar.” Ibarat kata pepatah; “Hilang paneh satahun dek hujan sadarok”. Upaya pembinaan yang dilakukan selama 3 tahun sirna begitu saja oleh aksi semalam.
Selidik punya selidik, konon di kompleks itu sudah terjadi gerakan “serangan fajar”. Semua tutup mulut, tak ada bukti fisik yang terlihat, bersih seolah-olah tak terjadi apa-apa. Tapi, itulah kenyataan yang ditemukan saat perhitungan suara, pemenangnya adalah partai lain yang selama ini tak pernah muncul di sana. Perjuangan kami selama 3 tahun menjadi sia-sia. Hanya bisik-bisik dari mulut ke mulut yang bisa menjawab penyebab peristiwa luar biasa itu.
Nyatanya hal serupa juga terjadi di berbagai tempat dan di berbagai pelosok negeri. Kita bisa lihat beritanya muncul di berbagai media.
Di beberapa tempat masyarakat menuntut agar dilakukan pemilu ulang, sebagian lainnya terpaksa diam karena tidak menemukan bukti fisik yang bisa dijadikan bukti perkara.
Sebagian lainnya terpaksa mengurut dada dan mengikhlaskan apa pun yang terjadi. Tuhan pasti tahu apa yang sebenarnya terjadi dan beliau akan membalasnya dengan hukuman yang setimpal.
Namun ada juga tim lain yang menyatakan dan menemukan fakta bahwa uang bukanlah segalanya. Di daerah yang ia dampingi, masyarakat tetap pada komitmennya. Pembinaan dan pendampingan yang dilakukan selama bertahun-tahun tak berujung sia-sia. Mereka memang menjadi sahabat, mereka memang menjadi saudara, sehati, seiya sekata. Mereka cenderung tak menanyakan apa yang bisa mereka peroleh, tapi menanyakan apa yang bisa kita lakukan dan kerjakan bersama. Apa yang bisa dilakukan bersama untuk kebaikan dan kemajuan bersama. Uang sepertinya adalah prioritas urutan nomor sekian.
Pada kenyataannya di lapangan, pemilu dan uang memang tak bisa dipisahkan. Untuk melakukan sosialisasi, butuh uang. Untuk beli gula dan kopi atau beli nasi bungkus saat sosialisasi juga butuh uang. Mencetak kartu nama, banner, spanduk atau baliho, dan berbagai atribut kampanye pasti juga butuh uang. Membantu perbaikan masjid, sekolah, jalan atau saluran air dan lain-lain, juga pasti butuh uang. Tak jarang masyarakat minta ini, minta itu sebagai prasyarat sosialisasi. Apalagi jika ditambah pula dengan memasang iklan di media massa.
Siap menjadi caleg, artinya harus siap pula dengan dana pendukung. Semua butuh modal, besar atau kecilnya tergantung pola mana yang akan dipakai.
Dalam kondisi wajar-wajar saja, tentu tak jadi masalah. Namun jika menggunakan metode serangan fajar atau membeli suara, tentu ini merupakan tindakan yang salah dan melanggar aturan.
Begitu juga dengan cara-cara lain seperti penggelembungan suara, manipulasi suara dan sebagainya yang menghalalkan segala cara. Akibatnya dana yang dibutuhkan tentu menjadi makin membengkak dan niatnya pasti sudah tidak benar lagi.
Segala sesuatu yang dilakukan dengan cara yang baik dan benar, tentu hasilnya akan baik dan benar pula. Namun jika sesuatu dilakukan dengan cara-cara yang salah, pastilah hasilnya juga salah dan tidak membawa kebaikan.
Sesuatu yang dilakukan dengan cara-cara haram, apa pun alasannya, pastilah hasilnya haram juga. Seseorang terpilih menjadi anggota legislatif atau kepala daerah (bupati/wali kota) dengan cara-cara yang salah tentu tidak akan membawa berkah bagi dirinya, maupun bagi masyarakat sekitarnya.
Umumnya masyarakat kita jika ditanya pemimpin seperti apakah yang mereka inginkan, pastilah mereka menjawab pemimpin yang diinginkan adalah pemimpin yang jujur, amanah, berakhlak mulia, tidak korupsi, peduli kepada masyarakat, kreatif, inovatif dan seterusnya.
Apakah tidak aneh, jika kita berharap kebaikan, tetapi dilakukan dengan cara-cara yang tidak baik dan benar? Apakah tindakan kita sudah betul, menerima hanya secuil uang dengan menggadaikan masa depan 5 tahun mendatang atau bahkan bisa jadi berdampak sepanjang masa? Apakah dengan cara-cara seperti itu kita bisa mendapatkan pemimpin yang jujur, amanah, peduli dan sebagainya?
Cara-cara yang baik akan menghasilkan kebaikan, cara yang haram akan menghasilkan yang haram pula, jauh dari berkah.
Pemilu sebagai bagian dari perangkat demokrasi bertujuan untuk menggalang aspirasi dan peran serta masyarakat untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang nantinya bertugas dan bertanggung jawab memikirkan dan membawa dan memikirkan masa depan bangsa agar lebih maju, lebih baik, lebih sejahtera dan bermartabat.
Seharusnya kita semua peduli dengan hal itu, malah harus ikut bertanggung jawab memastikan bahwa pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang dipilih benar-benar yang terbaik, amanah, peduli, pekerja keras dan berakhlak mulia.
Jika kita menginginkan masa depan dan kehidupan yang lebih baik seharusnya cara-cara yang tidak terpuji tersebut tidak terulang lagi.
Semoga apa yang telah berlalu menjadi pelajaran bagi kita bersama untuk dievaluasi dan diperbaiki di masa datang dan semoga Tuhan melindungi kita semua. Amin... [http://padangekspres.co.id/]
Post a Comment