Home » , , » Egoisme Beribadah

Egoisme Beribadah

Written By @Adimin on Tuesday, July 9, 2013 | 8:40 PM

 

Setiap akan memasuki bulan puasa,  hampir selalu diawali dengan perbedaan pandangan dan pendapat dalam penentuan awal puasa dan juga lebaran. Dulu sebelum era informasi, perbedaan itu hanya ditemukan dalam buku-buku fikih atau dakam diskusi terbatas para mujtahid. Namun seiring dengan kemajuan teknologi dan bahkan pasca reformsi bagi Indonesia, maka pebedaan pendapat atau perdebatan ilmiah yang seharunya berada dalam ruang dan komunitas terbatas telah menembus ruang public. Kehebatan dalam berargumen mempertahan kan pendapat yang kemungkinan besar marjuh(kurang kuat), egoisme berbeda dengan pemerintah dipertontonkan (terlihat) oleh masyarakat. Dengan alasan bahwa  pemerintah tidak boleh mengintervensi keyakinan seseorang dalam beribadah,  tetapi yang terjadi adalah simpati telah berubah menjadi antipati.

Menelisik kepada bentuk-bentuk ibadah yang dikerjakan oleh setiap muslim, maka dalam kajian fikih diketahui bahwa hampir semua ibadah memiliki etika atau adab yang menyesuaikan dengan ruang dan waktu, bahkan adat kebiasaan suatu tempat atau kondisi daerah. Ketika seseorang akan shalat misalnya, maka harus dipastikan syarat dan rukunnya terpenuhi. Dan idealnya seseorang berlama-lama dalam shalat, karena sejatinya dia sedang berdialog dengan Rabbnya. Tetapi ketika dia shalat berjamaah dan bahkan menjadi Imam, maka dia harus tahu kondisi makmumnya, tidak boleh dipanjangkan bacaan dalam shalat, karena dikhawatirkan ada diantara jamaahnya yang sakit(tidak bisa berdiri lama), atau punya agenda lain, sehingga harus cepat  selesai shalat. Atau ada  yang punya anak kecil(sedang menangis), sehingga mengganggu kekhusyu’an dalam shalat. Sebagaimana pernah terjadi pada masa rasul s.a.w. ketika beliau menjadi imam dalam shalat, beliau mendengar suara anak kecil menangis, maka beliau memendekkan bacaan shalat.           

Pernah suatu ketika tiga orang shabat datang menemui istri Nabi S.A,W dan menanyakan bagaimana ibadahnya nabi Muhmamad s.a.w. Setalah mendapat penjelasan, salah seorang dari mereka berkata, betapa  sedikitnya dan rendahnhya ibadah kita bila dibandingkan dengan Rasul s.a.w yang sudah mendapat jamanian ampunan dari Allah s.w.t atas dosa-dosanya yang telah berlalu ataupun masa yang akan datang jika ada. Saya bertekad akan selalu shalat malam tanpa istirahat, orang kedua berkata saya akan puasa sepanjang hari, orang ketiga berkata, saya akan membujang dan tidak akan menikah. 

Rencana mereka diatas didengar oleh Rasul s.a.w, lalu beliau bersabda:
 وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا آكُلُ اللَّحْمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي


  Kenapa kalian yang punya rencana ini dan itu, Demi Allah saya adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling  bertakawa dibandingkan kalian. Saya shalat malam tetapi juga tidur, saya berpuasa tetapi juga berbuka dan saya juga menikah, Siapa yang membenci sunnahku, maka sesungguhnya dia bukan bagian dari umatku.(H.R. Bukhari dan Muslim).

  
 Dalam riwayat lain didapatkan  informasi, bahwa seorang tabiin menetap di masjid  untuk beribadah, sementara untuk biaya hidupnya ditanggung oleh saudaranya, ketika Umar bin Khattab mendengar hal itu, ia berkata saudaramu yang berkerja jauh lebih baik dari kamu.Beberapa riwayat diatas mengindikasikan bahwa sejatinya ibadah adalah pengabdian dengan ketundukan dan kepatuhan kepada aturan, menyesuaikan dengan kondisi. Bukan sekedar ingin menikmati ibadah secara pribadi atau menunjukkan egoisme golongan.

Dalam ibadah haji sebenarnya lebih terasa bahwa ibadah bukan untuk menujukkan ego pribadi dan golongan, waktu pelaksanaanya “terpaksa tunduk dan patuh” kepada perhitungan pakar/ulama Saudi, jika tidak mau dipermalukan dengan melakukan wukuf di Arafah sehari sebelum atau sesudah umat Islam secara keseluruhan melakukan wukuf. Untuk mencium hajar aswad tidak diwajibkan, bahkan dibolehkan dengan isyarat saja dari kejauhan, jika dikhawatirkan menginjak-injak orang lain, atau menimbulkan dosa.

Seharusnya dalam berpuasa juga demikian, jika secara keilmuan terbaru dan tercanggih hari ini, bulan belum bisa terlihat,  maka sudah sejatinya ijtihad yang dipakai adalah dengan menyempurnakan hitungan sya’ban menjadi tiga puluh hari karena juga berkekuatan hukum secara dalil. Demikian juga halnya, walaupun sedang bersemangat untuk berpuasa, jika saatnya sudah berbuka, maka dilarang untuk menunda berbuka, malah dianjurkan rasul s.a.w untuk segera berbuka walaupun hanya dengan segelas air putih. Alangkah indah juga kalau seandainya di sebuah masjid bergabung dua kelompok yang shalat tarawehnya  sebelas rakaat dengan yang  dua puluh satu rakaat, cukup dengan menambah dari delapan menjadi dua puluh dan ditutup dengan witir. Sehingga tidak ada yang merasa hebat dan menjadi egois, sebab apalah artinya shalat dua puluh rakaat jika dikerjakan dengan buru-buru tanpa khusyu’ kemudian merasa lebih sempurna ibadahnya. Begitu juga dengan yang shalat delapan rakaat, tetapi setelah itu menggunjingkan yang shalat dua puluh rakaat. Sekali lagi inti dari ibadah adalah pengabdian dan ketundukan hati, membunuh rasa lebih hebat dan egoism diri ataupun golongan.    
 
Mulyadi Muslim, Lc MA. 



posted by @Adimin
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. PKS Padang - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger