Home » , » Siapa Layak Menyandang Nama Ulama?

Siapa Layak Menyandang Nama Ulama?

Written By @Adimin on Thursday, March 26, 2015 | 8:52 PM


"Sebaik-baiknya ilmu itu disertai rasa takut kepada Allah swt." (Ibnu Athoillah).

SAMA sekali tidak bisa kita pungkiri bahwa Allah Azza wa Jalla yang menciptakan dan memelihara seluruh jagad raya alam semesta beserta isinya. Dia-lah Dzat yang Maha Perkasa, yang Maha Berkehendak atas segala apa pun yang terjadi terhadap mahluk-mahluk-Nya.

Segenap mahluk yang menghuni langit dan bumi, bahkan jagat raya ini sekalipun. Tunduk takluk kepada segala apa yang menjadi ketetapan-Nya. Tidak bisa tidak! Laa haula walaa quwwata illaa billaahil aliyyil azhiim.

Oleh karena itu, adakah yang kita takuti selain Allah? Manusia; adakah sesuatu yang lebih dari mahluk yang satu ini kalau toh ternyata kelebihan itu sendiri adalah karunia yang dititipkan Allah kepadanya. Mestikah kelebihan yang ada pada manusia itu membuatnya pongah dan takabur, menyombongkan diri di muka bumi? Dan dengan demikian, tidak lagi menampakkan rasa takut kepada Allah, yang sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mencabut segala apa yang ada pada dirinya. Kapan saja kalau Dia mau?

Ternyata hanyalah "ilama" inilah derajat kemuliaan tertinggi yang dikaruniakan kepada manusia, siapa saja dia, yang merasa takut kepada Allah. Siapa saja, asal dia teramat sangat menyadari kemaha besaran dan kemaha kuasaan Allah Azza wa Jalla!

"Innamaa yakhsyallaahu min ibaadihil ulamaa"(sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama). (Q.S. Faathir [35]:26).Demikian firman-Nya.

Orang yang merasa takut kepada Allah itu, tulis Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, tiada lain hanyalah ulama yang telah mencapai marifat, yaitu mengenal Tuhan (karena) meniliki hasil kekuasaan dan kebesaran-Nya. Maha Besar, Maha Kuasa, dan Maha Mengetahui, yang mempunyai kekuasaan sifat kesempurnaan dan yang memiliki al-Asmaul Husna.

Apabila marifat bertambah sempurna dan ilmu terhadapnya bertambah matang, maka ketentuan kepada-Nya pun bertambah besar dan bertambah banyak. (Tafsir al-Azhar:Juz XXII hlm.301).

Sementara itu, ada sebuah jawaban yang bagus atas pertanyaan; mengapa sekarang terjadi kemerosotan dalam bidang ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam? Sebab, kalau kita mendengar kata ulama, maka yang langsung terbayang dalam benak kita adalah orang yang ahli agama. Padahal dulu ada suatu jaman dimana masyarakatnya tidak membeda-bedakan mana ahli agama, mana ahli matematika, mana ahli kedokteran, dan seterusnya. Asalkan dengan ilmunya membuatnya menjadi dekat dengan Allah, maka mereka adalah ulama.

Kita baca dalam sejarah tokoh-tokoh ilmu pengetahuan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, Ibnu Khaldun; dan sebagainya. Mereka terus mengembangkan disiplin ilmu yang dikarunia Allah kepadanya seoptimal mungkin, sampai merasa yakin semua itu membuat jalan yang membuat dekat dengan Allah.

Seorang ahli kedokteran terus-menerus dengan tanpa mengenal lelah menggali dan memahami ilmu kedokterannya sebagai sarana taqarrub kepada-Nya. Begitupun ahli matematika, ahli perdagangan, ahli politik pemerintahan; mereka jadikan ilmunya itu menjadi jalan untuk mendekat kepada Allah. Mereka adalah ulama.

Akan tetapi sayang, lambat laun masa ini berubah, sehingga orang menyangka ulama itu hanya datang dari kalangan orang-orang yang faqih dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan. Pemahaman ini terus bertahan hingga kini. Dengan demikian, orang-orang secara langsung menganggap remeh kepada ahli kedokteran, ahli matematika, ahli ekonomi, dan sebagainya. Padahal mereka juga bisa berkedudukan ulama di sisi Allah sepanjang bidang keilmuannya tersebut bisa membuat takut kepada Allah Azza wa Jalla.

Jadi, siapapun bisa mencapai derajat kemuliaan sebagai ulama sepanjang memenuhi kriteria ulama di atas. Seseorang yang hanya berprofesi sebagai tukang sablon sekalipun bisa menjadi ulama dalam pandangan Allah selama profesinya dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Tangan sibuk bekerja, hati dan lisan sibuk berdzikir mengingat Allah. Sedangkan akal fikirannya menyakini bahwa Allah sedang melihat apa yang dikerjakannya.

Ia pun berikhtiar sekuat tenaga untuk berbuat sesuatu yang terbaik, sehingga bisa memberikan kepuasan kepada pemesannya sekaligus ikhtiar itu menjadi ladang amal shalih bagi dirinya. Maka, bukan tidak mungkin sang konsumen menjadi kagum atas kejujurannya, sehingga jika pada saat itu turun hidayah Allah kepadanya, tidak bisa tidak profesi sebagai tukang sablon itu menjadi jalan kemaslahatan juga bagi orang lain.

Dengan demikian, setiap orang bisa berbuat apapun dan dengan disiplin ilmu apapun, sepanjang ikhtiar bisa membuat dirinya sendiri maupun orang lain dapat mengingat Allah, maka tidak sulit bagi Allah menjadikan seseorang dekat dengan-Nya kalau Allah mengetahui di hatinya ada rasa takut kepada-Nya.

Pertanyaan berikutnya adalah, adakah "ulama" yang sebenarnya bukan ulama? Untuk mejawab pertanyaan ini baiklah terlebih dahulu dinukilkan sebuah riwayat yang dibawakan dari Sufyan ats-Tsauri. Ulama itu, kata Tsauri, ada tiga macam. Yakni, (1) alim yang mengenal Allah dan mengenal perintah Allah, (2) alim yang mengenal Allah, tetapi tidak mengenal perintah Allah, dan (3) alim yang mengenal Allah, tapi tidak mengenal mengenal Allah.

Ulama pertama adalah yang takut kepada Allah dan mengenal batas-batasnya, perintah, serta larangan-Nya. Ulama kedua adalah yang takut kepada Allah, tetapi tidak melaksanakan perintah-Nya karena ketidaktahuannya, sedangkan ulama ketiga yaitu yang sangat tahu batas-batas dan perintah Allah, tetapi tidak ada rasa takut kepada Allah.

Kelihatannya ulama yang ketigalah yang paling tidak bisa disebut ulama. Siksa bagi seorang alim seperti ini , kata al-Hasan r.a., adalah matinya hati karena dia gemar mencari dunia dengan menjual amal akhirat. Naudzu billah min dzaalik!

Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla senantiasa memelihara kita dari perilaku yang tidak terpuji karena ilmu yang kita miliki. - See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2186406/siapa-layak-menyandang-nama-ulama#sthash.XhslzKOz.dpuf
"Sebaik-baiknya ilmu itu disertai rasa takut kepada Allah swt." (Ibnu Athoillah).

SAMA sekali tidak bisa kita pungkiri bahwa Allah Azza wa Jalla yang menciptakan dan memelihara seluruh jagad raya alam semesta beserta isinya. Dia-lah Dzat yang Maha Perkasa, yang Maha Berkehendak atas segala apa pun yang terjadi terhadap mahluk-mahluk-Nya.

Segenap mahluk yang menghuni langit dan bumi, bahkan jagat raya ini sekalipun. Tunduk takluk kepada segala apa yang menjadi ketetapan-Nya. Tidak bisa tidak! Laa haula walaa quwwata illaa billaahil aliyyil azhiim.

Oleh karena itu, adakah yang kita takuti selain Allah? Manusia; adakah sesuatu yang lebih dari mahluk yang satu ini kalau toh ternyata kelebihan itu sendiri adalah karunia yang dititipkan Allah kepadanya. Mestikah kelebihan yang ada pada manusia itu membuatnya pongah dan takabur, menyombongkan diri di muka bumi? Dan dengan demikian, tidak lagi menampakkan rasa takut kepada Allah, yang sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mencabut segala apa yang ada pada dirinya. Kapan saja kalau Dia mau?

Ternyata hanyalah "ilama" inilah derajat kemuliaan tertinggi yang dikaruniakan kepada manusia, siapa saja dia, yang merasa takut kepada Allah. Siapa saja, asal dia teramat sangat menyadari kemaha besaran dan kemaha kuasaan Allah Azza wa Jalla!

"Innamaa yakhsyallaahu min ibaadihil ulamaa"(sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama). (Q.S. Faathir [35]:26).Demikian firman-Nya.

Orang yang merasa takut kepada Allah itu, tulis Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, tiada lain hanyalah ulama yang telah mencapai marifat, yaitu mengenal Tuhan (karena) meniliki hasil kekuasaan dan kebesaran-Nya. Maha Besar, Maha Kuasa, dan Maha Mengetahui, yang mempunyai kekuasaan sifat kesempurnaan dan yang memiliki al-Asmaul Husna.

Apabila marifat bertambah sempurna dan ilmu terhadapnya bertambah matang, maka ketentuan kepada-Nya pun bertambah besar dan bertambah banyak. (Tafsir al-Azhar:Juz XXII hlm.301).

Sementara itu, ada sebuah jawaban yang bagus atas pertanyaan; mengapa sekarang terjadi kemerosotan dalam bidang ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam? Sebab, kalau kita mendengar kata ulama, maka yang langsung terbayang dalam benak kita adalah orang yang ahli agama. Padahal dulu ada suatu jaman dimana masyarakatnya tidak membeda-bedakan mana ahli agama, mana ahli matematika, mana ahli kedokteran, dan seterusnya. Asalkan dengan ilmunya membuatnya menjadi dekat dengan Allah, maka mereka adalah ulama.

Kita baca dalam sejarah tokoh-tokoh ilmu pengetahuan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, Ibnu Khaldun; dan sebagainya. Mereka terus mengembangkan disiplin ilmu yang dikarunia Allah kepadanya seoptimal mungkin, sampai merasa yakin semua itu membuat jalan yang membuat dekat dengan Allah.

Seorang ahli kedokteran terus-menerus dengan tanpa mengenal lelah menggali dan memahami ilmu kedokterannya sebagai sarana taqarrub kepada-Nya. Begitupun ahli matematika, ahli perdagangan, ahli politik pemerintahan; mereka jadikan ilmunya itu menjadi jalan untuk mendekat kepada Allah. Mereka adalah ulama.

Akan tetapi sayang, lambat laun masa ini berubah, sehingga orang menyangka ulama itu hanya datang dari kalangan orang-orang yang faqih dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan. Pemahaman ini terus bertahan hingga kini. Dengan demikian, orang-orang secara langsung menganggap remeh kepada ahli kedokteran, ahli matematika, ahli ekonomi, dan sebagainya. Padahal mereka juga bisa berkedudukan ulama di sisi Allah sepanjang bidang keilmuannya tersebut bisa membuat takut kepada Allah Azza wa Jalla.

Jadi, siapapun bisa mencapai derajat kemuliaan sebagai ulama sepanjang memenuhi kriteria ulama di atas. Seseorang yang hanya berprofesi sebagai tukang sablon sekalipun bisa menjadi ulama dalam pandangan Allah selama profesinya dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Tangan sibuk bekerja, hati dan lisan sibuk berdzikir mengingat Allah. Sedangkan akal fikirannya menyakini bahwa Allah sedang melihat apa yang dikerjakannya.

Ia pun berikhtiar sekuat tenaga untuk berbuat sesuatu yang terbaik, sehingga bisa memberikan kepuasan kepada pemesannya sekaligus ikhtiar itu menjadi ladang amal shalih bagi dirinya. Maka, bukan tidak mungkin sang konsumen menjadi kagum atas kejujurannya, sehingga jika pada saat itu turun hidayah Allah kepadanya, tidak bisa tidak profesi sebagai tukang sablon itu menjadi jalan kemaslahatan juga bagi orang lain.

Dengan demikian, setiap orang bisa berbuat apapun dan dengan disiplin ilmu apapun, sepanjang ikhtiar bisa membuat dirinya sendiri maupun orang lain dapat mengingat Allah, maka tidak sulit bagi Allah menjadikan seseorang dekat dengan-Nya kalau Allah mengetahui di hatinya ada rasa takut kepada-Nya.

Pertanyaan berikutnya adalah, adakah "ulama" yang sebenarnya bukan ulama? Untuk mejawab pertanyaan ini baiklah terlebih dahulu dinukilkan sebuah riwayat yang dibawakan dari Sufyan ats-Tsauri. Ulama itu, kata Tsauri, ada tiga macam. Yakni, (1) alim yang mengenal Allah dan mengenal perintah Allah, (2) alim yang mengenal Allah, tetapi tidak mengenal perintah Allah, dan (3) alim yang mengenal Allah, tapi tidak mengenal mengenal Allah.

Ulama pertama adalah yang takut kepada Allah dan mengenal batas-batasnya, perintah, serta larangan-Nya. Ulama kedua adalah yang takut kepada Allah, tetapi tidak melaksanakan perintah-Nya karena ketidaktahuannya, sedangkan ulama ketiga yaitu yang sangat tahu batas-batas dan perintah Allah, tetapi tidak ada rasa takut kepada Allah.

Kelihatannya ulama yang ketigalah yang paling tidak bisa disebut ulama. Siksa bagi seorang alim seperti ini , kata al-Hasan r.a., adalah matinya hati karena dia gemar mencari dunia dengan menjual amal akhirat. Naudzu billah min dzaalik!

Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla senantiasa memelihara kita dari perilaku yang tidak terpuji karena ilmu yang kita miliki. - See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2186406/siapa-layak-menyandang-nama-ulama#sthash.XhslzKOz.dpuf



"Sebaik-baiknya ilmu itu disertai rasa takut kepada Allah swt." (Ibnu Athoillah).

SAMA sekali tidak bisa kita pungkiri bahwa Allah Azza wa Jalla yang menciptakan dan memelihara seluruh jagad raya alam semesta beserta isinya. Dia-lah Dzat yang Maha Perkasa, yang Maha Berkehendak atas segala apa pun yang terjadi terhadap mahluk-mahluk-Nya.


Segenap mahluk yang menghuni langit dan bumi, bahkan jagat raya ini sekalipun. Tunduk takluk kepada segala apa yang menjadi ketetapan-Nya. Tidak bisa tidak! Laa haula walaa quwwata illaa billaahil aliyyil azhiim.


Oleh karena itu, adakah yang kita takuti selain Allah? Manusia; adakah sesuatu yang lebih dari mahluk yang satu ini kalau toh ternyata kelebihan itu sendiri adalah karunia yang dititipkan Allah kepadanya. Mestikah kelebihan yang ada pada manusia itu membuatnya pongah dan takabur, menyombongkan diri di muka bumi? Dan dengan demikian, tidak lagi menampakkan rasa takut kepada Allah, yang sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mencabut segala apa yang ada pada dirinya. Kapan saja kalau Dia mau?


Ternyata hanyalah "ilama" inilah derajat kemuliaan tertinggi yang dikaruniakan kepada manusia, siapa saja dia, yang merasa takut kepada Allah. Siapa saja, asal dia teramat sangat menyadari kemaha besaran dan kemaha kuasaan Allah Azza wa Jalla!


"Innamaa yakhsyallaahu min ibaadihil ulamaa"(sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama). (Q.S. Faathir [35]:26).Demikian firman-Nya.


Orang yang merasa takut kepada Allah itu, tulis Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, tiada lain hanyalah ulama yang telah mencapai marifat, yaitu mengenal Tuhan (karena) meniliki hasil kekuasaan dan kebesaran-Nya. Maha Besar, Maha Kuasa, dan Maha Mengetahui, yang mempunyai kekuasaan sifat kesempurnaan dan yang memiliki al-Asmaul Husna.


Apabila marifat bertambah sempurna dan ilmu terhadapnya bertambah matang, maka ketentuan kepada-Nya pun bertambah besar dan bertambah banyak. (Tafsir al-Azhar:Juz XXII hlm.301).


Sementara itu, ada sebuah jawaban yang bagus atas pertanyaan; mengapa sekarang terjadi kemerosotan dalam bidang ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam? Sebab, kalau kita mendengar kata ulama, maka yang langsung terbayang dalam benak kita adalah orang yang ahli agama. Padahal dulu ada suatu jaman dimana masyarakatnya tidak membeda-bedakan mana ahli agama, mana ahli matematika, mana ahli kedokteran, dan seterusnya. Asalkan dengan ilmunya membuatnya menjadi dekat dengan Allah, maka mereka adalah ulama.


Kita baca dalam sejarah tokoh-tokoh ilmu pengetahuan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, Ibnu Khaldun; dan sebagainya. Mereka terus mengembangkan disiplin ilmu yang dikarunia Allah kepadanya seoptimal mungkin, sampai merasa yakin semua itu membuat jalan yang membuat dekat dengan Allah.


Seorang ahli kedokteran terus-menerus dengan tanpa mengenal lelah menggali dan memahami ilmu kedokterannya sebagai sarana taqarrub kepada-Nya. Begitupun ahli matematika, ahli perdagangan, ahli politik pemerintahan; mereka jadikan ilmunya itu menjadi jalan untuk mendekat kepada Allah. Mereka adalah ulama.


Akan tetapi sayang, lambat laun masa ini berubah, sehingga orang menyangka ulama itu hanya datang dari kalangan orang-orang yang faqih dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan. Pemahaman ini terus bertahan hingga kini. Dengan demikian, orang-orang secara langsung menganggap remeh kepada ahli kedokteran, ahli matematika, ahli ekonomi, dan sebagainya. Padahal mereka juga bisa berkedudukan ulama di sisi Allah sepanjang bidang keilmuannya tersebut bisa membuat takut kepada Allah Azza wa Jalla.

Jadi, siapapun bisa mencapai derajat kemuliaan sebagai ulama sepanjang memenuhi kriteria ulama di atas. Seseorang yang hanya berprofesi sebagai tukang sablon sekalipun bisa menjadi ulama dalam pandangan Allah selama profesinya dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Tangan sibuk bekerja, hati dan lisan sibuk berdzikir mengingat Allah. Sedangkan akal fikirannya menyakini bahwa Allah sedang melihat apa yang dikerjakannya.


Ia pun berikhtiar sekuat tenaga untuk berbuat sesuatu yang terbaik, sehingga bisa memberikan kepuasan kepada pemesannya sekaligus ikhtiar itu menjadi ladang amal shalih bagi dirinya. Maka, bukan tidak mungkin sang konsumen menjadi kagum atas kejujurannya, sehingga jika pada saat itu turun hidayah Allah kepadanya, tidak bisa tidak profesi sebagai tukang sablon itu menjadi jalan kemaslahatan juga bagi orang lain.


Dengan demikian, setiap orang bisa berbuat apapun dan dengan disiplin ilmu apapun, sepanjang ikhtiar bisa membuat dirinya sendiri maupun orang lain dapat mengingat Allah, maka tidak sulit bagi Allah menjadikan seseorang dekat dengan-Nya kalau Allah mengetahui di hatinya ada rasa takut kepada-Nya.


Pertanyaan berikutnya adalah, adakah "ulama" yang sebenarnya bukan ulama? Untuk mejawab pertanyaan ini baiklah terlebih dahulu dinukilkan sebuah riwayat yang dibawakan dari Sufyan ats-Tsauri. Ulama itu, kata Tsauri, ada tiga macam. Yakni, (1) alim yang mengenal Allah dan mengenal perintah Allah, (2) alim yang mengenal Allah, tetapi tidak mengenal perintah Allah, dan (3) alim yang mengenal Allah, tapi tidak mengenal mengenal Allah.

Ulama pertama adalah yang takut kepada Allah dan mengenal batas-batasnya, perintah, serta larangan-Nya. Ulama kedua adalah yang takut kepada Allah, tetapi tidak melaksanakan perintah-Nya karena ketidaktahuannya, sedangkan ulama ketiga yaitu yang sangat tahu batas-batas dan perintah Allah, tetapi tidak ada rasa takut kepada Allah.


Kelihatannya ulama yang ketigalah yang paling tidak bisa disebut ulama. Siksa bagi seorang alim seperti ini , kata al-Hasan r.a., adalah matinya hati karena dia gemar mencari dunia dengan menjual amal akhirat. Naudzu billah min dzaalik!


Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla senantiasa memelihara kita dari perilaku yang tidak terpuji karena ilmu yang kita miliki.

 

"Sebaik-baiknya ilmu itu disertai rasa takut kepada Allah swt." (Ibnu Athoillah).

SAMA sekali tidak bisa kita pungkiri bahwa Allah Azza wa Jalla yang menciptakan dan memelihara seluruh jagad raya alam semesta beserta isinya. Dia-lah Dzat yang Maha Perkasa, yang Maha Berkehendak atas segala apa pun yang terjadi terhadap mahluk-mahluk-Nya.

Segenap mahluk yang menghuni langit dan bumi, bahkan jagat raya ini sekalipun. Tunduk takluk kepada segala apa yang menjadi ketetapan-Nya. Tidak bisa tidak! Laa haula walaa quwwata illaa billaahil aliyyil azhiim.

Oleh karena itu, adakah yang kita takuti selain Allah? Manusia; adakah sesuatu yang lebih dari mahluk yang satu ini kalau toh ternyata kelebihan itu sendiri adalah karunia yang dititipkan Allah kepadanya. Mestikah kelebihan yang ada pada manusia itu membuatnya pongah dan takabur, menyombongkan diri di muka bumi? Dan dengan demikian, tidak lagi menampakkan rasa takut kepada Allah, yang sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mencabut segala apa yang ada pada dirinya. Kapan saja kalau Dia mau?

Ternyata hanyalah "ilama" inilah derajat kemuliaan tertinggi yang dikaruniakan kepada manusia, siapa saja dia, yang merasa takut kepada Allah. Siapa saja, asal dia teramat sangat menyadari kemaha besaran dan kemaha kuasaan Allah Azza wa Jalla!

"Innamaa yakhsyallaahu min ibaadihil ulamaa"(sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama). (Q.S. Faathir [35]:26).Demikian firman-Nya.

Orang yang merasa takut kepada Allah itu, tulis Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, tiada lain hanyalah ulama yang telah mencapai marifat, yaitu mengenal Tuhan (karena) meniliki hasil kekuasaan dan kebesaran-Nya. Maha Besar, Maha Kuasa, dan Maha Mengetahui, yang mempunyai kekuasaan sifat kesempurnaan dan yang memiliki al-Asmaul Husna.

Apabila marifat bertambah sempurna dan ilmu terhadapnya bertambah matang, maka ketentuan kepada-Nya pun bertambah besar dan bertambah banyak. (Tafsir al-Azhar:Juz XXII hlm.301).

Sementara itu, ada sebuah jawaban yang bagus atas pertanyaan; mengapa sekarang terjadi kemerosotan dalam bidang ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam? Sebab, kalau kita mendengar kata ulama, maka yang langsung terbayang dalam benak kita adalah orang yang ahli agama. Padahal dulu ada suatu jaman dimana masyarakatnya tidak membeda-bedakan mana ahli agama, mana ahli matematika, mana ahli kedokteran, dan seterusnya. Asalkan dengan ilmunya membuatnya menjadi dekat dengan Allah, maka mereka adalah ulama.

Kita baca dalam sejarah tokoh-tokoh ilmu pengetahuan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, Ibnu Khaldun; dan sebagainya. Mereka terus mengembangkan disiplin ilmu yang dikarunia Allah kepadanya seoptimal mungkin, sampai merasa yakin semua itu membuat jalan yang membuat dekat dengan Allah.

Seorang ahli kedokteran terus-menerus dengan tanpa mengenal lelah menggali dan memahami ilmu kedokterannya sebagai sarana taqarrub kepada-Nya. Begitupun ahli matematika, ahli perdagangan, ahli politik pemerintahan; mereka jadikan ilmunya itu menjadi jalan untuk mendekat kepada Allah. Mereka adalah ulama.

Akan tetapi sayang, lambat laun masa ini berubah, sehingga orang menyangka ulama itu hanya datang dari kalangan orang-orang yang faqih dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan. Pemahaman ini terus bertahan hingga kini. Dengan demikian, orang-orang secara langsung menganggap remeh kepada ahli kedokteran, ahli matematika, ahli ekonomi, dan sebagainya. Padahal mereka juga bisa berkedudukan ulama di sisi Allah sepanjang bidang keilmuannya tersebut bisa membuat takut kepada Allah Azza wa Jalla.

Jadi, siapapun bisa mencapai derajat kemuliaan sebagai ulama sepanjang memenuhi kriteria ulama di atas. Seseorang yang hanya berprofesi sebagai tukang sablon sekalipun bisa menjadi ulama dalam pandangan Allah selama profesinya dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Tangan sibuk bekerja, hati dan lisan sibuk berdzikir mengingat Allah. Sedangkan akal fikirannya menyakini bahwa Allah sedang melihat apa yang dikerjakannya.

Ia pun berikhtiar sekuat tenaga untuk berbuat sesuatu yang terbaik, sehingga bisa memberikan kepuasan kepada pemesannya sekaligus ikhtiar itu menjadi ladang amal shalih bagi dirinya. Maka, bukan tidak mungkin sang konsumen menjadi kagum atas kejujurannya, sehingga jika pada saat itu turun hidayah Allah kepadanya, tidak bisa tidak profesi sebagai tukang sablon itu menjadi jalan kemaslahatan juga bagi orang lain.

Dengan demikian, setiap orang bisa berbuat apapun dan dengan disiplin ilmu apapun, sepanjang ikhtiar bisa membuat dirinya sendiri maupun orang lain dapat mengingat Allah, maka tidak sulit bagi Allah menjadikan seseorang dekat dengan-Nya kalau Allah mengetahui di hatinya ada rasa takut kepada-Nya.

Pertanyaan berikutnya adalah, adakah "ulama" yang sebenarnya bukan ulama? Untuk mejawab pertanyaan ini baiklah terlebih dahulu dinukilkan sebuah riwayat yang dibawakan dari Sufyan ats-Tsauri. Ulama itu, kata Tsauri, ada tiga macam. Yakni, (1) alim yang mengenal Allah dan mengenal perintah Allah, (2) alim yang mengenal Allah, tetapi tidak mengenal perintah Allah, dan (3) alim yang mengenal Allah, tapi tidak mengenal mengenal Allah.

Ulama pertama adalah yang takut kepada Allah dan mengenal batas-batasnya, perintah, serta larangan-Nya. Ulama kedua adalah yang takut kepada Allah, tetapi tidak melaksanakan perintah-Nya karena ketidaktahuannya, sedangkan ulama ketiga yaitu yang sangat tahu batas-batas dan perintah Allah, tetapi tidak ada rasa takut kepada Allah.

Kelihatannya ulama yang ketigalah yang paling tidak bisa disebut ulama. Siksa bagi seorang alim seperti ini , kata al-Hasan r.a., adalah matinya hati karena dia gemar mencari dunia dengan menjual amal akhirat. Naudzu billah min dzaalik!

Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla senantiasa memelihara kita dari perilaku yang tidak terpuji karena ilmu yang kita miliki. - See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2186406/siapa-layak-menyandang-nama-ulama#sthash.XhslzKOz.dpuf


posted by @Adimin
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. PKS Padang - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger